SELAMAT HARI KESEHATAN NASIONAL KE 50


Sabtu, 01 Agustus 2009

Konsep Dasar Lanjut Usia

2.3 Konsep Dasar Lanjut Usia
2.3.1 Pengertian
Lanjut usia adalah golongan pendududuk yang mendapat perhatian atau penglompokan tersendiri adalah populasi berumur 60 tahun keatas (Nugroho W, 2000)

2.3.2 Pembagian Lanjut Usia
2.3.2.1 Menurut Nugroho W, (2000) bahwa lanjut usia dibagi menjadi tiga: 1). Midlle age antara umur 45-59 tahun. 2). Early age antar umur 60-74 tahun. 3). Old age antara umur 75-90 tahun keatas.
2.3.2.2 Menurut WHO lanjut usia meliputi : 1). Usia pertengahan atau Middle age kelompok usia 45-59 tahun.. 2). Lanjut usia atau Lader ly antara 60-74 tahun. 3). Lanjut usia tua atau Old antara 75-90 tahun. 4). Usia sangat tua atau very old di atas 90 tahun
2.3.2.3 Sedangkan menurut Wirakusumah. ES (2000) bahwa lanjut usia dibagi menjadi 3 kelompok : 1). Lanjut usia peralihan awal umur 50-55 tahun . 2). Lanjut usia peralihan menengah umur 55-60 tahun. 3). Lanjut usia peralihan akhir umur 60-65 tahun.

2.3.3 Teori Proses Menua
Menurut Nugroho W, (2000), proses menua adalah:
2.3.4.1 Proses Individu
1) Tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda
2) Masing-masing lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda
3) Tidak ada satu faktorpun ditemukan untuk mencegah proses menua.
2.3.4.2 Teori Biologi: 1). Secara keturunan atau mutasi atau somatik mutuatik theory setia sel pada saatnya akan mengalami mutasi. 2). Pemakainn dan rusak kelebihan usaha dan stress menyebabakan sel-sel tubuh lelah atau terpakai. 3). Pengumpulan dari pigmen dalam tubuh yang disebut teori akumulasi dari produk sisa sebagi contoh adanya pigmen limpo fochiene disel otot jantung dan sel susunana saraf pusat pada orang lanjut usia yang mengakibatkan mengganggu fungsi sel itu sendiri. 4). Peningkatan kolagen dalam jaringan. 5). Reaksi dari kekebalan sendiri atau auto imuni theory didalam proses metabolisme tubuh suatu saat produksi suatu zat khusus ada jaringan tubuh tertentu tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit sebagai contoh bertambahnya kelenjer timus yang ada pada usia dewasa berinvolunsi dan sejak itu terjadilah kelainanan auto imun.
2.3.4.3 Teori Kejiwaan sosial: 1). Aktivitas atau kegiatan ketentuan akan meningkatkan pada penurunan pada jumlah kegiatan secara langsung . 2). Ukuran optimum atau pola hidup dilanjutkan pada cara hidup darai lanjut usia. 3). Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainya.



2.3.4 Perubahan-Perubahan Pada Lanjut Usia
Menurut Nugroho W, (2000) perubahan fisik yang terjadi pada lanjut usia:
2.3.4.1 Perubahan Sel: 1). Lebih sedikit jumlahnya. 2). Lebih besar ukuranya. 3). Berkuranya cairan tubuh dan cairan intra seluler. 4). Sistem persyarafan. 5). Cepat menurunya hubungan persyarafan. 6). Lambat dalam respon dan waktu bereaksi khususnya stres. 7). Mengecilnya syaraf panca indera.
2.3.4.2 Sistem Pendengaran: 1). Presbhikusis atau gangguan dalam pendengaran. 2). Membran timpani menjadi atropi menyebabkan otoseklerosisi. 3). Terjadinya pengumpulan serumen dan mengeras karena meningkatnya kreatin.
2.3.4.3 Sistem penglihatan: 1). Sfingter pupil timbul seklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar. 2). Kornea lebih berbentik sferis atau bola. 3). Lensa lebih suram atau kekeruhan pada lensa. 4). Meningkatnya ambang pengamatan sinar. 5). Hilanyan daya akomondasi. 6). Menurunya lapang pandang. 7). Menurunya daya membedakan warna biru atau hijau pada skala
2.3.4.4 Sistem Kardivaskuler: 1). Katup jantung menebal dan menjadi kaku. 2). Kemampuan jantung memompa darah manurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun. 3). Kehilangan elastisitas pembuluh darah . 4). Tekenanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer atau 170/95 mmHg.
2.3.4.5 Sistem Respirasi: 1). Otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku. 2). Menurunya aktivitas pada silia. 3). Paru-paru hilang elastisitasnya. 4). Alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang. 5). Oksigen menurun pada arteri hingga 75 mmHg. 6). Karbondioksida pada arteri tidak berganti. 7). Kemampuan untuk batuk berkurang.
2.3.4.6 Sistem Gastroentestinal: 1). Kehilangan gigi. 2). Indra pengecap menurun. 3). Esofagus melebar. 4). Asam lambung menurun. 5). Peristaltik usus lemah dan timbul konstipasi. 6). Fungsi absorbsi melemah. 7). Hati makin mengecil dan menurunya tempat penyipanan serta berkurangnya aliran darah.
2.3.4.7 Sistem Genito Urinaria: 1). Ginjal mengecil dan nefron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun 50%. 2). Vesika urinaria otot menjadi lemah, kapasitas menurun 200 ml sehingga frekuensi buang air kecil meningkat, pembesaran prostat 70 % pada laki-laki lebih dari 65 tahun. 3). Daya seks terjadi penurunan libido secara bertahap tiap tahun tapi kapasitas untuk melaksanakan dan menikmati terus sampai tua.
2.3.4.8 Sistem Endokrin: 1). Produksi dari semua hormon menurun. 2). Fungsi paratyroid dan sekresi tidak berubah. 3). Pertumbuhan hormon lebih lambat. 4). Menurunya aktivitas tiroid. 5). Menurunya produksi aldosteron. 6). Menurunya sekresi hormon kelamin misalnya progesteron dan aldosteron serta testosteron
2.3.4.9 Sistem Kulit: 1). Keriput akibat kehilangan jaringan lemak. 2). Kulit kepala menipis dan warna rambut berubah. 3). Berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan dan vaskulerisasi. 4). Kuku jari menjadi keras dan rapuh
2.3.4.10 Sitem Muskuloskletal: 1). Kulit kehilangan desinty dan makin rapuh,kefosis. 2). Pinggang lutut dan jari-jari pergelangan terbatas. 3). Persendian makin membesar dan kaku.
2.3.4.11 IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkalian verbal serta berkuranya penampilan, persepsi dan psikomotorik
2.3.4.12 Perubahan aspek kepribadiaan bisa terjadi egoistik, emosi meningkat, harga diri rendah,sukar tidur dan kadang-kadang bicara ngelantur

2.3.5 Perubahan-Perubahan Secara Fisik Maupun Mental
Menurut Wirakusumah. ES (2000) banyak terjadi saat seseorang memasuki usia senja seperti timbulnya uban, penglihatan berkurang, gigi tanggal, pikun depresi atau merasa dikucilkan
2.3.6.1 Komposisi tubuh
Sejalan dengan bertambahnya usia komposisi seseorang akan berubah. Perubahn ini sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor genetik, aktivitas fisik, asupan gizi dan penyakit.
2.3.6.2 Peningkatan jumlah lemak relatif meningkat dengan bertambahnya usia.
Peningkatan jumlah lemak pada lansia dipengaruhi oleh penurunan aktivitas fisik yang tidak diimbangi dengan pengurangan asupan maknan. Selain itu menurunyan fungsi hormon tertentu atau esterogen dan progesteron akan mempengaruhi metabolisme lemak. Peningkatan jumlah lemak akan berimpilkasi terhadap meningkatnya resiko terserang penyakit dan kematian.
2.3.6.3 Kekuatan otot.puncak.
Kekuatan otot terjadi pada usia sekitar 20 tahun dan akan terus menurun ketika menginjak usia 40 tahun sekitar usia 60 tahun kekuatn otot hanya tinggal separunya bila di bandingakan dengan usia 20-an tahun. Menurunnya kekuatan otot ini sangat mempengaruhi koordinasi gerakan tubuh karena berkurangya serabut-serabut otot yang bertanggung jawab terhadap gerakan yang cepat. Penurunan massa otot sejalan dengan bertambahnya usia penurunan masa otot pada pria lebih besar dibanding wanita usaha untuk memperbaiki fungsi otot dapat ditempuh dengan cara latihan fisik yang tepat dan berkesinambungan hasilnya cukup efektif walaupun tidak akan mengubah massa otot
2.3.6.4 Air tubuh.
Jumlah total air didalam tubuh baik berupa cairan ektraseluler maupun intraseluler akan menurun sejalan dengan meningkatnya usia. Penurunan air tubuh pada lansia terjadi secara signifikan karena adanya peningkatan jumlah sel mati yang digantikan oleh lemak maupun jaringan penghubung selain itu dapat disebabkan oleh pengurangan asupan air karena respon terhadap kehilangan air tubuh berkurang, dehidrasi termal dan penurunan kemampuan menahan air didalam ginjal. Dalam kondisi sakit kasus dehidrasai pada lansia makin meningkat sehingga kehilangan air tubuh akan makin parah disamping itu hilangnya melalui ginjal, usus, paru-paru atau kulit makin meningkat. Demikian juga bila seseorang terserang diare atau penyakit berhubungan dengan ginjal akibat lanjut kondisi dehidrasi dapat menyebabkan kesadaran menurun dan sirkulasi dalam tubuh tidak memadai.
2.3.6.5 Menurunya massa tulang.
Massa tulang juga menurun sejalan dengan meningkatnya usia. Pada wanita setelah menapouse preses reabsorbsi makin meningkat dalam proses tersebut terjadi pelepasan kalsium dari tulang untuk digunakan tubuh sedangkan kondisi tulang sudah mengalami kerusakan. Sementara itu proses formasi yaitu pertumbuhan tulang sudah berhenti. Ketidakseimbangn diperburuk oleh turunnya kadar estrogen sehingga kerapuhan tulang semakin cepat. Pada wanita hal ini dapat menyebabkan osteoporosis, penyakit osteoporosis hampir dialami 40% wanita berusia 50 tahun keatas. Faktor penting yang berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosisi ini adalah menurunya aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, fungsi hormon estrogen yang tidak efisien serta rendahnya kolsium dan fluoride.
2.3.6.6 Sistem Pencernaan
1) Gigi lansia sering mengalami gangguan gigi geligi karena kerusakan gusi, caries pada akar gigi serta tanggalnya beberapa gigi salah satu penyebab adalah karena terjadinya perubahan bentuk rahang atau mandibula kondisi ini mengakibatkan lansia mengalami hambatan dalam proses mengunyah
2) Sensitivitas indara penciuman dan perasa sejalan demngan bertambahnya usia kemampuan indra penciuman dan perasa perlahan-lahan mulai menurun perubahan ini terkadang tidak disadari oleh para lansia. Menurunnya kemampuan tersebut dipengaruhi bebarapa faktor yatitu kepekaan penurunan indra penciuman akibat perubahan sistem penciuman atau olfaktori, intragasi dari sistem saraf pusat, obat-obatan, kebersihn diri, gizi atau akibat penyakit seperti parkinson dan alzhaimer. Kekurangan zat gizi sepeti seng, tembaga, nikel dan beberapa vitmin dapat memicu penurunan kepekaan indra penciuman dan perasa
3) Produksi asam lambung dan enzim pencernaan. Produksi asam lanbung dan beberapa enzim pencernaan akan menurun ketika usia mulai senja kondisi ini akan berpengaruh terhadap penyerapan vitamin B12, asam volat dan besi non –hem dalam usus. Disamping itu akan menghambat penyerapan kalsium,.lambatnya pengeluaran kelenjar usus akan menghambat penyerapan dan pencernaan makanan hal ini menimbulkan beberapa penyakit yang berhubungan dengan lambung dan usus diantaranya tukak lambung atau peptik ulcer, sembelit, difertiklosis, kurng gizi dan lain-lain.
4) Penurunan absorbsi. Tidak efisiensinya absorsi usus lebih sering disebabkan oleh kekurangan elektrolit, laktosa, Vitamin B6, vitamin D, kalsium dan besi. Penyerapan makanan antar lain berlangsung secara difusi dan transporaktif melaliu membran. Untuk memperlancara proses penerapan harus tersedia cairan yng cukup. Oleh karena itu dehidrasi dapat menurunkan penyerapan usus.
5) Lapisan otot usus pertambahan usia menyebabkan kemunduran perkenbangan lapisan otot pada usus akibatnya dinding usus menjadi lemah kemampuan gerak atau motilitas usus juga semakin menurun diikuti dengan hambatan penyerapan air pada feces dan lebih lanjut dan menyebabkan konstipasi. Kondisi ini dipicu oleh diet yang rendah serat, kurang aktivitas serta lemahnya regangan otot dibagian perut.
6) Obat-obatan dapat menimbulkan efek yang negatif terhadap pencernaan. Laksative dan obat diuretik akan mengganggu kesimbangan cairan elektrolit tubuh jenis obat penenang atau trankuilis dapat mengurangi rangsangan untuk minim sedangkan antibiotik akan mengganggu produksi flora usus.
7) Perubahan fungsi hati. Perubahan yang terjadi pada hati antara lain menyusutnya ukuran, kurang lancarnya aliran darah, berkurangya jumlah hepatisit dan terjadinya penurunan kecepatan fungsi metabolik. Hal ini berimplikasi terhadap penurunan kecepatan hati dalm proses racun seperti obat-obtn dan alkohol.
2.3.6.7 Sistem Kekebalan
Degenerasi terhadap thymus atau kelenjar dibagian leher yang bertanggung jawab terhadap pemelihraan T-limphosites untuk mengkoordinasi sistem kekebalan tubuh terjadi secara berangsur-angsur. B-limphosites sel menghasilkan antibodi juga akan kehilangan fungsinya. Dengan kata lain terjadinya penurunan sisitem kekebalan karena kemampuan tubuh untuk merangsang serangan mikroskopis dan kemampuana produksi anti bodi berkurang akibat proses penuaan. Hasil studi menunjukkan bahwa keadaan malnutrisi protein dan energi berpengaruh terhadap lemahnya kekebalan tubuh khususnya sel yang berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh. Perbaikan asupan gizi pada lansia dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuh

2.3.6.8 Sistem Jantung
Bertambahnya usia menyebabkan efisiensi kerja jantung dalam memompa darah menjadi berkurang. Hal ini disebabka oleh penurunan elastisitas pembuluh arteri akibat perubahn kolagen dan elastisitas dalam dinding arteri. Selain itu terjadi penurunan kemampuan pembuluh darah untuk berelaksasi dalam mengakomdasi dalam perubahan volume darah seperti denyut jantung kondisi ini lambat laun akan meningkatkan tekanan darah namun bertambahnya usia tidak menyebabkan jantung mengecil atau atropi
2.3.6.9 Sistem Pernafasan
Pada usia 20 tahunan fungsi paru akan bekerja maksimal diukur dari jumlah udara yang dikeluarkan perdetik dengan bertambahnya usia fungsi paru-paru akan menurun akaibat berkurang daya elastisitas otot yang mempetahankan bronkioles pipa kecil didalam paru-paru tetap terbuka penurunan fungsi paru-paru juga terjadi karena kebiasaan merokok dan kurang beraktivitas.
2.3.6.10 Otak dan Sistem Saraf
Bertambahnya usia akan menurunkan kemampuan otak sehingga daya ingat berkuarang. Kondisi ini tidak jarang menimbulkan masalah kesehatan akan lupa makan, lupa minum obat dan sebagainya dan akhirnya mendatangkan penyakit penurunan fungsi otak akibat terhentinya pembelahan sel neuron secara progresif sesuai dengan pertambahnya usia.
Penurunan daya ingat terjadi pada usia beragam ada yang mulai pada usia 50 tahun, 60 tahun bahkan 70 tahun secara biologis volume otak akan berkurang 10% pada usia 30-60 tahun. Setelah usia 30 tahun berat otak mengalami penurunan yaitu sekitar 150-200 gr sampai akhir hayatnya. Penurunan fungsi saraf mata mengalami penurunan pada usia 40 tahun, setelah usia 60 tahun akan terjadi penurunan kemampuaan belajar, depresi, kekakuan dan dimensia. Disamping itu dengan meningkatnya usia fungsi neurotransmiter otak dan reseptornya makin menurun sehingga kemampuan reflek menjadi berkurang.
2.3.6.11 Sistem Metabilisme dan Hormon
Tingkat metabolisme basal rate atau BMR per satuan berat badan badan lansia akan menurun sekitar 20% dibandingkan usia 30 tahun. Pada penderita diabetes akan terjadi penurunan toleransi terhadap glukosa dan resiko terhadap kondisi obesitas semakin meningkat perubahan-perubahan tersebut terjadi akibat penurunan fungsi hormon didalam tubuh.
Penurunan hormon seks atau estrogen pada wanata menjelang menopouse atau 50 tahun ketidakteraturan sampai berhentinya haid disebabkan indung telur yang tidak memproduksi sel telur lagi hal ini terjadi akibat adanya perubahan keseimbangan produksi hormon-hormon seks. Gejala-gejala yang mengalami perubahan ini antara lain berupa keluhan psikologis dan keluhan fisik atau somatik yang dikenal sebagai keluhan premenopouse atau masa klimakterium keluhan psikologis yang terjadi umumnya mudah tersinggung, apatis tidak memperhatikan penampilan, gangguan tidur atau berpeluh pada perasan panas, sedangkan gangguan somatik dapat berupa mengendurnya vagina atau hipoatrofi mengendurnya buah dada dan kemungkinan terjadinya keropos tulang. Selain kadar endokrin akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia sehingga akan menurunkan sensitivitas terhadp rasa sakit, dipihaka lain produksi hormon tyroid yang mengatur metabolisme basal tidak banyakk berubah
2.3.6.12 Sistem Ekskresi
Penurunan aliran darah ke ginjal berhubungan dengan penurunan jumlah nefron atau suatu unit yang bertanggung jawab mengekstrak kotoran dari darah dan membuangnya kedalam urin. Keadaan ini menyebabkan volume urin meningkat sementara itu kapasits kandung kencing menurun sehingga pengeluaran urin setiap harinya meningkat oleh karena itu tidak mengherankan jika kadang lansia sering buang air kecil dimalam hari, dengan bertambahnya umur satuan anatomik dan fungsi ginjal juga menurun sebanyak 35% nefron dan 30% jumlah glumeruli yang aktif menghilang serta berkuarangnya darah yang keluar masuk dari ginjal sebesar 45-53% .
2.3.6.13 Massa Tulang
Massa tulang berkurang sejalan dengan bartambahnya. usia. Puncak penambahan massa tulang terjadi sampai usia sekitar 35 tahun. Puncak massa tulang ini bervariasi, misalnya massa tulang pria 25-30% lebih tinggi dari pada wanit. Massa tulang orang berkulit hitam 10% lebih tinggi dari pada yang berkulit putih. Namun pada setiap kelompok tadi terdapat variasi yang lebar, misalnya satu dari 40 wanita 65 tahun mempunyai massa tulang kurang dari rata-rata .
Penambahan usia sangat terkait dengan berkurangnya massa tulang setiap tahunnya tulang berkurang 0,3% pada pria dan 1% pada wanita kondisi ini memang tergantung pada jenis kelamin aktivitas fisik.asupan zat gizi dan status sosial ekonomi. Kecepatan penurunan massa tulang selain diakibatkan usia juga oleh minimnya asupan kalsium selain itu faktor resiko lainya itu penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penurunan massa tulang diantara bentuk tubuh yang kecil minimnya aktivitas fisik, menepouse lebih awal dan anoreksia (Wirakusumah. ES:2000)

2.3.6 Faktor-Faktor Yang Terkait Dengan Kebutuhan Gizi Lansia
1) Aktifitas fisik
Pada umumnya, para lansia akan mengalami penurunan aktivitas fisik. Salah satu faktor penyebabnya adalah pertambahan usia yang dapat menyebabkan terjadinya kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan membatasi aktifitas yang menurut ketangkasan fisik, penurunan aktifitas fisik pada lansia harus diimbangi penurunan aktifitas asupan kalori. Hal ini untuk mencegah terjadinya Obesitas, jika pasokan kalori maka akan mengakibatkan keseimbangan kalori positif atau kelebihan kalori, sehingga akan meningkatkan resiko terjadinya serangan beberapa penyakit degeneratif.
2) Kemunduran biologis
Masuk usia senja, seseorang akan mengalami beberapa perubahan baik secara fisik maupun biologis. Misalnya Gigi, kulit keriput, penglihatan berkurang, keroposnya tulang, rambut beruban, pikun, depresi, sensitifitas indra berkurang, metabolisme basal berkurang dan kurang lancarnya proses pencernaan. Perubahan -perubahan ini akan berpengaruh terhadap proses pencernaan, penyerapan, dan penggunaan zat gizi didalam tubuh. Oleh karena itu, asupan gizi untuk lansia harus disesuaikan dengan perubahan kemampuan organ-organ tubuh lansia sehingga dapat mencapai kecukupan gizi lansia yang optimal.
3) Pengobatan
Kadang-kadang bertambahnya usia identik dengan ketergantungan obat pada dasarnya pengobatan dapat memperbaiki kondisi kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup, tetapi dilain pihak pengobatanpun dapat mempengaruhi asupan kebutuhan gizi lansia. Tidak jarang lansia harus mengkonsumsi obat-obatan dalam waktu yang cukup lama. Berikut ini beberapa contoh pengaruh penggunaan obat terhadap kebutuhan zat gizi :
(1). Kebutuhan kalium akan meningkat akibat penggunaan obat-obatan diuretik.
(2). Perubahan selera makan akan terjadi akibat penggunaan obat anti depresan (Pencegahan depresi) atau jenis antibiotik tertentu.
(3). Penggunaan aspirin dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan berkurangnya cadangan besi.
Berdasarkan uraian tersebut, bagi lansia yang harus menggunakan beberapa jenis obat, dianjurkan untuk selalu mengkonsultasikan kepada dokter mengenai kemungkinan efek samping pada obat yang sedang dan akan digunakan. Makanan tersebut harus mendukung proses penyembuhan penyakit dan mencegah terjadinya penurunan cadangan beberapa zat gizi akibat penggunaan obat. Dengan harapan obat yang dikonsumsi tidak mengakibatkan berkurangnya jumlah beberapa unsur jenis.

4) Depresi dan Kondisi mental
Depresi hampir dialami oleh 12-14% Populasi lansia. Perubahan lingkungan sosial, kondisi yang terisolasi, kesepian atau berkurangnya aktivitas menjadikan para lansia mengalami rasa frustasi dan kurang bersemangat. Akibatnya, selera makanan terganggu dan pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan. Dengan demikian, kondisi mental yang tidak langsung dapat memicu terjadinya status gizi yang buruk.
5) Penyakit
Meningkatnya usia menyebabkan seseorang mejadi rentan terserang penyakit. Penyakit tertentu sering menyebabkan keadaan gizi menjadi buruk. Misalnya menderita kencing manis umumnya mempunyai berat badan dibawah batas normal. Diduga penurunan badan ini terjadi karena defisiensi insulin yang dialami oleh penderita kencing manis. Kondisi ini akan menyebabkan sedikitnya glukosa yang dapat diserap tubuh untuk diubah menjadi energi. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan energi, tubuh akan merombak lemak atau liposis dan Protein atau Proteolisis untuk dijadikan sumber energi jika kondisi ini terjadi secara terus menerus akan menyebabkan cadangan lemak dan protein didalam tubuh berkurang. Akibatnya berat badanpun akan menurun.
Selain kencing manis, Defisiensi zat gizi tertentu dialami pula oleh penderita osteoporosis. Dalam hal ini, penderita osteoporosis mengalami defisiensi kalsium yang berlangsung secara perlahan-lahan. Lain halnya dengan penderita darah tinggi yang cenderung mengalami defisiensi vitamin C. Dengan demikian jelaslah bahwa penyakit yang diderita seseorang sangat berpengaruh terhadap kesediaan dan kebutuhan zat gizi didalam tubuhnya (Wirakusumah. ES, 2002).

Konsep Pernikahan

2.1 Konsep Pernikahan
2.1.1 Pengertian Pernikahan
Terdapat beberapa literatur tentang batasan pernikahan antara lain :
Pernikahan adalah kerjasama antara dua orang yang telah sepakat untuk hidup bersama hingga akhir hayatnya. Agar kehidupan rumah tangga ini dapat langgeng mulai diperlukan ikatan yang kuat berupa rasa cinta dan saling memahami (M Qorni, 2003:11).
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (UU perkawinan Nomor 11, 2007).
Pernikahan dini sama dengan pernikahan pada umumnya yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang masih muda atau remaja dalam satu ikatan keluarga (Dian 2008)
Jadi pernikahan pada dasarnya merupakan bersatunya dua orang yang berbeda karakteristik dan telah sepakat untuk berkerjasama menjalani hidup untuk menemukan babak baru dalam kehidupan.
2.1.2 Hukum Pernikahan
Menikah hukum asalnya adalah mubah, namun hukum asal menikah ini dapat berubah menjadi hukum lain tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Oleh karena itu para ahli fiqih membagi hukum pernikahan menjadi empat hukum yaitu:
1) Wajib menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan mampu secara fisik, psikis dan material serta memiliki dorongan seksual yang tinggi sehingga dikhawatirkan kalau pernikahan itu ditangguhkan akan menjerumuskan pada zina.
2) Sunnah menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan sudah mampu secara fisik, psikis dan material, namun masih bisa menahan diri dari perbuatan zina.
3) Makruh menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami, namun belum mampu secara fisik, psikis atau material.
4) Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan pasangannya serta tidak menjadi kebaikannya, maupun menikah dengan tujuan menyakiti pasangannya.
Sedangkan hukum menikah usia muda menurut syara’ adalah sunnah (Idris Romulyo, 2002: 21).
2.1.3 Syarat Dalam Pernikahan
Menurut UU perkawinan bab II pasal 7
1) Persyaratan umum
(1) Perkawinan hanya diijinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun, dan perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan/ pejabat lain yang ditunjuk oleh dua orangtua pihak pria atau wanita.
(3) Ketentuan mengenai keadaan salah seorang / kedua orangtua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) UU ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)
2) Persyaratan khusus
Adalah persyaratan yang bersifat pribadi dan antara individu yang satu dengan yang lain berbeda.
2.1.4 Usia Ideal Untuk Menikah
Usia ideal untuk menikah bagi wanita adalah usia 20-22 tahun karena pada usia ini adalah usia dimana seseorang telah mencapai kematangannya, baik secara emosi maupun matang secara sosial. Kematangan sosial adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri, memantapkan diri dan menghadapi segala macam kondisi dengan suatu cara dimana kita mampu untuk menyelesaikan persoalan yang kita hadapi pada kondisi itu. Selain itu rentang usia tersebut juga paling baik untuk mengasuh anak pertama/ The First Time Parenting (Fauzil Adhim, 2008: 38). Dari segi fisik seorang remaja sudah mampu untuk menikah dan berketurunan antara usia 16-18 tahun, namun pada usianya itu terkadang ia belum mencapai kadar kematangan emosi dan sosial yang memadai dimana ia mampu untuk memikul beban tanggung jawab. Kematangan itu baru bisa diperoleh pada beberapa tahun kemudian.
2.1.5 Faktor Yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Muda
Menurut UU perkawinan bab II
1) Tingkat pendidikan
2) Sikap dan hubungan orangtua
3) Sebagai jalan keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi
4) Pandangan dan kepercayaan
5) Faktor masyarakat, lingkungan, adat istiadat
2.1.6 Dampak Dari Pernikahan Dini
Pernikahan dini mempunyai dampak yang cukup berat dalam segi fisik, mental, kependudukan, dan terjadi perceraian. Dalam segi fisik remaja itu belum kuat, tulang pinggulnya masih terlalu kecil sehingga membahayakan proses persalinan sehingga dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Safe Motherhood menyatakan usia paling kecil resiko dalam melahirkan adalah 20 sampai dengan 35 tahun artinya melahirkan pada usia sebelum 20 tahun dan sesudah 35 tahun mengandung resiko tinggi. Selain itu perempuan yang menikah di bawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker leher rahim karena sel-sel leher rahim belum matang kalau terpapar human papiloma virus (HPV) pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker.(Dian, 2008)
Dari segi mental emosi remaja masih belum stabil. Kestabilan emosi dalam psikologi terjadi pada usia 20 sampai dengan 24 tahun karena pada saat itu orang mulai memasuki usia dewasa. Maka kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi remaja masih ingin berpetualang menemukan jati dirinya. Hal ini menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian. Dari data yang ada di Departemen Agama menujukan bahwa perceraian yang sering terjadi dalam suatu perkawinan yang dilakukan adalah 60% disebabkan oleh faktor usia yang masih muda dan belum mampu untuk membina rumah tangga. Dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilisasi yang tinggi sehingga tidak mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan (Nurdin Ilyas, 2000)
Pernikahan dini dapat mengurangi keharmonisan keluarga, hal ini dikarenakan emosi remaja yang masih labil dan cara pikir yang belum matang. Kurangnya pengetahuan remaja yang menikah di usia dini tentang peran dan fungsi keluarga dapat menimbulkan dampak yang cukup berat antara lain yaitu : kesulitan dalam melakukan tugas sebagai suami, istri, maupun calon orang tua, kesulitan melakukan fungsi dalam keluarga serta ketergantungan kepada orang tua, serta dapat menyebabkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dapat terjadi kemungkinan disebabkan masa pengenalan yang pendek, kesulitan ekonomi dalam keluarga, pengetahuan yang kurang akan tentang perkawinan atau hubungan yang tidak baik dengan keluarga (Eka, 2008)
Terdapat tiga masalah yang dihadapi anak yang menikah di usia dini yaitu hilangnya masa anak dan remaja, hilangnya kebebasan personal, kurangnya kesempatan untuk mengembangkan secara penuh rasa kemandiriannya disamping penyangkalan pada kesejahteraan psikososial, emosional. Kesehatan dan kemampuan mencapai tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak mewajibkan kepada negara dan pemerintah untuk menjamin hak hidup, hak tumbuh kembang, perlindungan dan hak untuk didengar pendapat anak.(Andi, 2008).

Konsep Perawatan Luka

Konsep Perawatan Luka
2.3.1 Pengertian
Luka operasi termasuk juga luka insisi yaitu luka yang dibuat dengan potongan bersih menggunakan instrumen tajam, luka bersih secara aseptik biasanya ditutup denga jahitan (Brunner dan Suddarth, 2002:491).
2.3.2 Menurut Brunner dan Suddarth (2002), jenis penyembuhan luka meliputi:
2.3.2.1 Penyembuhan intensi primer
Luka dibuat secara aseptik dengan perusakan jaringan dan penutupan dengan baik. Ketika luka sembuh jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
2.3.2.2 Penyembuhan intensi sekunder
Luka besar dengan pembentukan jaringan yang banyak. Penyembuhan alamiah dengan pembentukan jaringan granulasi penyembuhan membutuhkan waktu lebih lama dan mengakibatkan pembentukan jaringan parut lebih banyak.
2.3.2.3 Penyembuhan intensi tersier
Waktu penundaan sebelum luka dijahit, granulasi lebih besar resiko infeksi lebih besar, reaksi inflamasi lebih besar dibanding dengan intensif primer. Penjahitan lama dan lebih banyak terbentuk jaringan parut.
2.3.3 Menurut Brunner dan Suddarth (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka meliputi:
2.3.3.1 Usia klien:semakin tua klien, kelenturan jaringan semakin berkurang.
2.3.3.2 Penanganan jaringan:penanganan yang kasar menyebabkan cidera dan memperlambat penyembuhan.
2.3.3.3 Hipovolemia:volume darah yang tidak mencukupi mengarah pada vasokontriksi dan penurunan oksigen dan nutrient yang tersedia untuk penyembuhan luka.
2.3.3.4 Tekhnik pembalutan yang tidak adekuat. Terlalu kecil:memungkinkan invasi dan kontaminasi bakteri. Terlalu kencang: mengurangi suplay oksigen yang membawa nutrient dan oksigen.
2.3.3.5 Benda asing: benda asing memperlambat penyembuhan.
2.3.3.6 Penumpukan drainage: sekresi yang menumpuk mengganggu proses penyembuhan.
2.3.3.7 Over aktifitas klien: aktifitas klie yang berlebihan menghambat perapatan tepi luka dan mengganggu penyembuhan yang diinginkan.
2.3.3.8 Gangguan sistemik: Syok Hemoragik, Asidosis, Hipoksia, sepsis, Gagal ginjal, Penyakit hepar merupakan depresan fungsi sel yang secara langsung mempengaruhi penyembuhan luka.
2.3.3.9 Medikasi: Steroid dapat menyamarkan adanya infeksi dengan mengganggu respon inflamasi normal, antikoagulan, menyebabakan hemoragik. Antibiotik tidak efektif bila diberikan setelah luka ditutup karena koagulasi intravaskuler.
2.3.4 Pengertian Perawatan Luka Post Operasi fraktur Ekstrimitas
Perawatan Luka Post Operasi Fraktur adalah bentuk pelayanan perawatan luka yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan Fraktur (http://musculoskeletalbedah.blogspot.com).


2.3.5 Perawatan Post Operasi Fraktur
Perawatan segera pascaoperasi pasien fraktur sama dengan pasien yang menjalani pembedahan mayor. Tetapi, harus diperhatikan terutama pada pencegahan terjadinya masalah medis sekunder, dan harus segera dilakukan mobilisasi agar fungsi kemandirian dapat dipertahankan.
Selama 24 sampai 48 jam pertama, perhatian ditujukan pada pemberian peredaan nyeri dan pencegahan komplikasi. Latihan menarik nafas dalam, batuk dan fleksi kaki harus didorong untuk dilakukan setiap jam. Diberikan antibiotika profilaksis intravena diberikan sesuai resep. Hidrasi, status nutrisi, dan haluaran harus dipantau. Stocking kompresi elastik setinggi paha dan alat kompresi pneumatik dapat dipergunakan untuk mencegah statis vena. Sebuah bantal diletakkan di antara kedua tungkai untuk mempertahankan abduksi dan kesejajaran dan memberikan dukungan yang diperlukan saat akan memiringkan badan.
2.3.6 Manfaat dan Tujuan Perawatan Luka Post Operasi Fraktur
1) Hari Perawatan menjadi pendek, 2) Waktu penyembuhan luka lebih cepat, 3) Menghindari komplikasi seperti Infeksi dan Sepsis.
2.3.7 Dampak atau komplikasi tidak dilakukan perawatan luka Post Operasi Fraktur
1) Timbulnya Infeksi, Sepsis dan dapat menyebabkan Osteomilitis, 2) Hari perawatan menjadi lama, 3) Waktu penyembuhan lebih lama.


2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien merasa takut saat dilakukan perawatan luka Post Operasi Fraktur
2.4.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan itu terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:121). Semakin tinggi tingkat pengetahuan pasien tentang pentingnya perawatan luka, maka pasien tidak akan merasa takut saat dilakukan perawatan luka Post Operasi Fraktur.
2.4.2 Informasi
Informasi yang adekuat akan dapat memotivasi pasien untuk bersedia dilakukan perawatan luka Post Operasi Fraktur. Oleh karena itu petugas kesehatan harus memberikan penyuluhan tentang pentingnya perawatan luka.
2.4.3 Peran Keluarga
Keluarga berperan sebagai pengambil keputusan dalam memelihara ksehatan anggotanya, keluarga juga sebagai suatu kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah kesehatan dalam kelompoknya (Nashrul Effendi, 1998:39). Dengan dukungan keluarga maka pasien akan bersedia jika dilakukan perawatan luka Post Operasi Fraktur.
2.4.4 Pendidikan
Pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, individu, keluarga atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:16). Pasien yang pendidikannya lebih tinggi, akan lebih mudah menerima informasi sehingga pasien akan lebih tahu tentang pentingnya perawatan luka.
2.2.5 Sosial Budaya
Budaya merupakan segala ciptaan dan tatanan perilaku manusia baik yang ada maupun yang tidak ada (Dyson L dan Santoso T, 2001:25). Sebagian masyarakat mempercayai patah tulang perlu bantuan non medis dan selanjutnya sembuh dengan sendirinya (ekspentatif).

Konsep Dasar Fraktur

2.2.1 Pengertian
Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai tipe dan luasnya. Fraktur terjadi ketika tulang diberikan stress lebih besar dari kemampuannya untuk menahan. Fraktur dapat terjadi karena pukulan langsung, kekuatan yang berlawanan, gerakan pemuntiran tiba-tiba, dan bahkan kontraksi otot yang berlebihan. Meskipun hanya tulang yang patah, struktur sekitarnya juga dipengaruhi, yang mengakibatkan edema jaringan lunak, hemoragi ke dalam tulang dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah (Brunner dan Suddarth, 2002:2357).
2.2.2 Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Jika kasus fraktur ditemukan pada saat pemeriksaan maka disebut klasifikasi secara klinis (Clinical Clasification). Jika fraktur diidentifikasikan melalui hasil pemeriksaan foto X-ray, dimana hal ini menghasilkan pengamatan yang lebih adekuat, maka disebut klasifikasi X-ray (X-ray Clasification). Fraktur dapat juga diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor yang menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Cara seperti itu digolongkan sebagai klasifikasi secara fisiologis (Physiological Clasification) (Brunner dan Suddarth, 2002:2357).
2.2.2.1 Menurut Brunner dan Suddarth (2002), klasifikasi fraktur secara klinis antara lain:
1) Fraktur sederhana (Simple Fracture)
Secara umum dikenal sebagai fraktur biasa, atau fraktur tertutup (meskipun pada kenyataannya fraktur tertutup tidak selalu fraktur sederhana). Fraktur sederhana hanya melibatkan tulang dan jaringan lunak di sekitar daerah terjadinya patah. Tidak ada kulit terluka, tidak melibatkan syaraf ataupun pembuluh darah. Kadang-kadang kemunculan fraktur menutupi cedera yang lebih serius. Tapi bagaimanapun juga, jika fraktur tidak ditangani, akan berkembang menjadi cedera yang lebih parah, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya fraktur komplikasi.
2) Patah riuk (Compound fracture)
Patah riuk adalah fraktur yang disertai luka berhubungan dengan tulang yang patah. Resiko paling besar pada kasus ini adalah terjadi infeksi yang menetap pada tulang sehingga akan sulit untuk dihilangkan. Oleh karena itu, jika terjadi fraktur yang disertai dengan luka pada kulit sekitarnya, harus dilakukan tindakan sehingga luka dapat ditangani dalam keadaan steril, misalnya di dalam ruang operasi. Luka tersebut harus ditutupi menggunakan dressing steril. Jarak luka biasanya tidak terlalu jauh dari tempat terjadinya patah. Kadang-kadang, tulang yang patah menyobek dan membuat lubang kecil pada kulit, dan masuk kembali ke dalam. Lubang pada otot akan mengering dan dapat terkontaminasi atau juga dapat menyebabkan sebagian kain dari pakaian terjepit pada ujung tulang. Luka harus dibuka dan semua benda atau jaringan yang telah mati harus dikeluarkan. Jika luka hanya ditutup saja, akan mengakibatkan infeksi yang lebih besar. Patah riuk dibagi menjadi dua yaitu “langsung” dan “tidak langsung”. Pada patah riuk langsung, benda yang menancap di kulit langsung merusak tulang. Sedangkan patah riuk tidak langsung terjadi saat tulang keluar dan merobek kulit.
3)Fraktur komplikasi (Complicated fracture)
Adalah kasus yang melibatkan jaringan utama lainnya, seperti urat syaraf atau pembuluh darah atau organ vital lainnya seperti paru-paru. Beberapa fraktur sering disertai dengan komplikasi khusus, dan fraktur ini akan bertambah parah jika tidak ditangani dengan benar. Sangat penting untuk berhati-hati dalam memeriksa kasus fraktur yang diindikasikan dapat menimbulkan komplikasi.
2.2.2.2 Menurut Brunner dan Suddarth (2002), klasifikasi fraktur berdasarkan foto X-ray antara lain:
1) Fraktur melintang (Transverse Fracture)
Merupakan kasus cedera khusus yang disebabkan oleh tekanan langsung. Perlu diketahui bahwa pasa kondisi ini posisi ujung tulang bergeser dan membentuk sudut. Sudut disebabkan oleh adanya tekanan tetapi pergeseran disebabkan oleh adanya tarikan dari otot yang menempel pada ujung tulang yang berbeda. Hal ini kadangkala menarik sebagian tulang pasa sisis yang patah, dan hal ini harus diperhatikan karena dapat menyebabkan fraktur bertambah parah.
2) Fraktur melingkar (Spiral Fracture)
Sering terjadi pada saat kaki terpelintir/membelit dengan telapak kaki tertahan, misalnya kecelakaan pada kaki saat bermain ski. Kadangkala pada fraktur seperti ini sulit ditahan sesuai dengan panjangnya karena ujung tulang yang patah terlalu tinggi. Jika ini terjadi pada tulang kaki, lakukan foto X-Ray secara hati-hati, karena kadang-kadang fibula terlihat utuh, padahal terjadi fraktur pada tudi sekitar lutut dan harus dipastikan bahwa urat syaraf yang ada disekitarnya dapat bekerja dengan baik sebelum dan sesudah gips dipasang.
3) Fraktur miring (Oblique fractures)
Saat terjadi fraktur miring, seringkali posisi tulang terangkat lebih tinggi. Ujung tulang menjadi runcing,dan dapat merobek jaringan lainnya, sehingga fraktur ini akan berkembang menjadi fraktur yang disertai komplikasi.
4) (Comminuted Fractures)
Fraktur comminuted adalah salah satu kasus fraktur yang terjadi dimana tulang patah menjadi beberapa bagian, sebagian dari mereka menjadi lebih kecil dengan sedikit aliran darah. Walaupun fraktur pulih dalam waktu yang lama, kadangkala tidak dapat disatukan tanpa adanya tindakan operasi. Patah tulang seperti ini disebabkan oleh tekanan yang sangat besar. Kerusakan jaringan lunak sangat banyak dan disertai pembengkakan. Pemasangan gips sirkumferensial sebaiknya diberi jarak karena memperhitungkan adanya pembengkakan.
5) Fraktur terjepit (Impacted fracture)
Kadang-kadang patah tulang pada orang yang berusia lanjut disebabkan oleh jatuh dan ujung tulang saling berbenturan oleh adanya tekanan atau disebabkan oleh kontraksi otot. Fraktur seperti ini sulit dideteksi, seperti patah pada tibia yang berada di bawah persendian lutut. Tanda-tanda adanya patah terlihat adanya puncak pada bagian atas tibia yang seharusnya berada dalam posisi horizontal, tapi terkadang posisinya bergeser ke belakang. Contoh yang paling sering ditemukan untuk kasus ini adalah patah tulang pada pergelangan tangan.
6) Fraktur tertekan (Depressed fractures)
Ketika tulang pipih terbentur dengan benda keras, akan menekan tulang kedalam (fraktur tertekan). Dua bagian tulang yang sering mengalami fraktur ini adalah tulang tengkorak dan pelvis.
7) Fraktur bintang (Stellate fracture)
Disebabkan karena tulang pipih terbentur dengan benda keras pada satu titik, misalnya karena tendangan atau peluru yang masuk kedalam tempurung lutut. Hal ini menghasilkan retakan berbentuk bintang seperti halnya pecahan kaca yang pecah karena batu. Fragmen tulang tempurung (patella) ditahan oleh tendon otot quadriceps yang melingkarinya. Kasus patah tulang diatas adalah kasus yang paling banyak terjadi, tapi semua inihanya menggambarkan kasus fraktur tersebut, namun tidak dapat menjelaskan secara pasti bagaimana fraktur itu bisa terjadi.
2.2.2.3 Menurut Brunner dan Suddarth (2002), klasifikasi fraktur berdasarkan faktor fisiologis antara lain:
1) Greenstick fractures
Frakture ini terjadi pada tulang anak-anak yang “lunak”. Seperti sepotong dahan, jaringan tulang tersebut kadangkala membengkok walau tidak terjadi patah. Tulang tersebut ‘patah’ pada sisi luar (Cortex) dan efek bengkoknya sering terlihat pada sisi yang lainnya.




2) Fraktur patologis (Pathologis fractures)
Intinya, fraktur ini disebabkan oleh penyakit sehingga tulang menjadi lemah dan mudah patah hanya dengan adanya sedikit tekanan. Kadangkala hal seperti ini disebabkan oleh penyakit, misal : osteoporosis, tapi tidak tertutup kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh tumor tulang, dan menjadi gejala awal yang ditunjukkan bagi pasien yang mengidap tumor. Fraktur pada bagian tertentu, misalnya pada tulang belakang, bagian atas femur atau humerus, dengan sedikit benturan kecil harus ditangani dengan lebih hati-hati.
2.2.3 Diagnosa fraktur
Fraktur didiagnosa melalui riwayat kecelakaan dan pemeriksaan pasien secara klinis. Diagnosa ini sisa juga berdasarkan hasil rontgen X-Rays, tapi sering terjadi kekeliruan, sehingga kadangkala gagal untuk mendeteksi fraktur sampai tanda-tanda penyatuan mulai terlihat.
Gejala-gejala dan tanda awal terjadinya fraktur diketahui dengan adanya hal sebagai berikut (Brunner dan Suddarth, 2002:2358).
2.2.3.1 Sakit
Sakit adalah gejala umum dari fraktur. Biasanya pasien mengetahui persis tempat rasa sakit tersebut. Rasa sakit dapat memperburuk kondisi pasien itu sendiri, oleh karena itu tanganilah kasus cedera seperti ini secara hati-hati. Tungkai harus disanggah dan perhatikan agar ujung tulang tidak saling bersentuhan.
2.2.3.2 Pembengkakan
Besarnya pembengkakan tidak dapat menggambarkan tipe fraktur, meskipun hal tersebut sebagian besar berhubungan dengan kerusakan pada jaringan lunak, tapi hal ini yang paling utama adalah gangguan peredaran darah pada tungkai yang cedera. Kaki yang mengalami fraktur dengan posisi tergantung selalu mengalami pembengkakan kebih besar dibandingkan dengan kaki yang disanggah, oleh karena itu naikkan posisi kaki yang cedera sebelum dan sesudah gips dipasang. Setelah kaki digips, pasien dianjurkan untuk menggerakkan jari atau ibu jari kaki sehingga dapat mengurangi terjadinya pembengkakan.
2.2.3.3 Perubahan bentuk
Kadangkala perubahan bentuk terjadi pada cedera yang spesifik, seperti pada fraktur Colles. Perubahan bentuk disini disebabkan oleh arah tekanan yang dialami. Pada kasus lain, perubahan bentuk disebabkan oleh adanya otot yang menekan fragmen tulang secara langsung.
2.2.3.4 Kehilangan fungsi
Tidak mengherankan jika seseorang yang mengalami fraktur tidak mau menggerakkan kakinya karena akan menimbulkan rasa sakit. Namun, jika kaki tersebut di gips dan disangga, sangat dianjurkan untuk memfungsikan kembali kaki yang cedera tersebut, khususnya pergerakan pada jari. Jika pasien masih tidak bisa menggerakkan jari/ibu jarinya, kita harus menyelidiki lebih lanjut adanya kemungkinan cedera pada syaraf atau ada otot yang hilang.
2.2.3.5 Gerakan yang tidak normal
Ketika dokter memeriksa pasiennya, ia akan menekan tulang untuk merasakan interaksinya, mencatat apakah ada pergerakan yang terdeteksi. Hal ini tidak dapat dilakukan sembarangan orang kecuali dokter yang berwenang, karena akan sangat menyakitkan dan lebih buruk jika terjadi kerusakan lebih lanjut. Bagaimanapun, jika saat pasien dipindahkan diketahui bahwa kaki pasien dalam posisi yang tidak biasa, jangan memindahkannya sebelum diberi penyangga dengan benar, dan laporkan hal tersebut kepada tenaga medis.
2.2.3.6 Crepitus
Crepitus adalah suara berderak yang disebabkan ujung tulang saling bergesekan. Suara tersebut hampir mirip dengan suara saat tarikan rambut dengan menggunakan telunjuk dan ibu jari. Jika suara tersebut terdengar, pastikan jangan menggerakan bagian tersebut karena itu akan sangat menyakitkan pasirn.
2.2.4 Pemulihan dan perawatan fraktur
2.2.4.1 Proses pemulihan tulang memakan waktu cukup lama dan melalui 5 tahap yaitu:
1) Proses pembentukan hemato, 2) Proses pembentukan sl baru, 3) Proses pembentukan callus/tulang, 4) Proses penyatuan, 5) Proses pembentukan kembali.
2.2.4.2 Perawatan Pasien Fraktur
1) Perawatan Pasien Fraktur Tertutup
Pasien dengan fraktur tertutup (sederhana) harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian kekutan penuh dan mobilitas mungkin memerlukan waktu sampai berbulan-bulan. Pasien diajari bagaimana mengontrol pembengkakan dan nyeri sehubungan dengan fraktur dan trauma jaringan lunak. Mereka didorong untuk aktif dalam batas imobilisasi fraktur. Tirah baring diusahakan seminimal mungkin. Latihan segera dimulai untuk mempertahankan kesehatan otot yang sehat dan untuk meningkatkan kekuatan otot. Perencanaan dilakukan untuk membantu pasien menyesuaikan lingkungan rumahnya sesuai kebutuhan dan bantuan keamanan pribadi, bila perlu. Pengajaran pasien meliputi perawatan diri, informasi obat-obatan, pemantauan kemungkinan potensial masalah, dan perlunya melanjutkan supervisi perawatan kesehatan.
2) Perawatan pasien Fraktur Terbuka
Pada fraktur terbuka (yang berhubungan dengan luka terbuka memanjang sampai permukaan kulit dan ke daerah cedera tulang) terdapak resiko infeksi osteomilitis, gas gangren, dan tetanus. Tujuan penanganan adalah meminimalkan kemungkinan infeksi luka, jaringan lunak dan tulang untuk mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang.
Ekstrimitas ditinggikan untuk meminimalkan terjadinya edema. Status neurovaskuler dikaji sesering mungkin. Suhu tubuh pasien diperiksa dengan interval teratur, dan pasien dipantau mengenai adanya tanda infeksi.
Penutupan primer mungkin tak dapat dicapai karena adanya edema dan potensial iskemia, cairan luka yang sangat terkontaminasi sebaiknya tidak dijahit, dibalut dengan pembalut steril, dan tidak ditutup sampai ketahuan bahwa daerah tersebut tidak mengalami infeksi. Profilaksis tetanus diberikan. Biasanya, diberikan antibiotika intravena untuk mencegah atau menangani infeksi serius. Luka ditutup dengan jahitan atau graft atau flap kulit autogen pada hari ke-5 sampai ke-7.

Konsep Pemberian Obat

2.3 Konsep Pemberian Obat
2.3.1 Pengertian
Obat adalah sesuatu yang digunakan dalam diagnosis, terapi penyembuhan, penurunan atau pencegahan penyakit (Potter Patricia A,2005).
2.3.2 Sifat Kerja Obat
Sebuah obat tidak menciptakan suatu fungsi dam jaringan tubuh atau organ, tetapi mengubah fungsi di dalam jaringan tubuh. Sifat kerja obat menurut Potter Patricia A (2005) antara lain:
1) Mekanisme Kerja. Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel atau berinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar asam lambung).
2) Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh sampai dengan obat mencapai tempat kerjanya, dimetabolisme dan keluar dari tubuh.
3) Absorpsi adalah cara molekul obat masuk ke dalam darah. Kebanyakan obat, kecuali obat yang digunakan secara topikal untuk memperoleh efek lokal, harus masuk ke dalam sirkulasi sistemik untuk menghasilkan efek yang terapeutik. Faktor yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi tempat absorpsi.
4) Distribusi. Setelah diabsorpsi, obat didistribusikan di dalam tubuh ke jaringan dan organ tubuh dan akhirnya ke tempat kerja obat tersebut.
2.3.3 Efek Obat
Menurut Potter Patricia (2005) ada beberapa efek yang dapat ditimbulkan oleh obat antara lain:
1) Efek Terapiutik merupakan respons fisiologis obat yang diharapkan atau yang diperkirakan timbul. Setiap obat diprogramkan memiliki efek terapeutik yang diinginkan.
2) Efek Samping. Sebuah obat diperkirakan akan menimbulkan efek sekunder yang tidak diinginkan. efek samping ini mungkin tidak berbahaya atau bahkan menimbulkan cedera.
3) Reaksi alergi adalah respon lain yang tidak dapat diperkirakan terhadap obat. Dari seluruh reaksi obat, 5% sampai 10% merupakan reaksi alergi. Alergi obat dapat bersifat ringan atau berat. Gejala alergi bervariasi bergantung pada individu dan obat.

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Kerja Obat
Adapun faktor yang mempengaruhi kerja obat menurut Potter Patricia A (2005) antara lain:
1) Perbedaan Genetik. Susunan genetik mempengaruhi biotransformasi obat. Pola metabolik dalam keluarga seringkali sama. Faktor genetik menentukan apakah enzim yang terbentuk secara alami ada untuk membantu penguraian obat.
2) Variabel fisiologis. Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mengubah metabolisme obat tertentu hormon dan obat saling bersaing dalam biotranformasi karena kedua senyawa tersebut terurai dalam proses metabolik yang sama.
3) Kondisi Lingkungan. Stress, fisik dan emosi yang berat akan memicu respons hormonal yang pada akhirnya mengganggu metabolisme obat pada klien. Pajanan yang panas dan dingin mempengaruhi respon terhadap obat.
4) Faktor psikologis. Sejumlah faktor psikologis mempengaruhi penggunaan obat dan respon terhadap obat. Sikap seseorang terhadap obat berakar dari pengalaman sebelumnya atau pengaruh keluarga.
5) Diit. Interaksi obat dan nutrien dapat mengubah kerja obat atau efek nutrien. Klien membutuhkan nutrisi tambahan ketika mengkonsumsi obat yang menurunkan efek nutrisi.
2.3.5 Pemberian Obat
Ada 5 hal yang harus diperhatikan dalam mengkonsumsi obat agar aman dan efek yang ditimbulkan sesuai dengan yang diinginkan, yang lebih dikenal dengan istilah “5 Tepat” (Dechacare,2009).
1) Tepat Obat. Sebelum pemberian atau mengkonsumsi obat harus diperhatikan nama obat yang akan digunakan karena banyak jenis obat yang hampir sama penyediannya namun berbeda manfaat atau efek sampingnya.
2) Tepat Dosis. Dosis merupakan sesuatu yang penting dalam pemberian obat karena hal tersebut akan menentukan reaksi dan tingkat kepatenan suatu obat terhadap penyakit. Pada obat tertentu ada kalanya harus dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu dan tidak boleh terputus, apabila hal itu terjadi maka akan mengakibatkan kekebalan obat pada suatu
3) Tepat Orang. Pemberian obat harus tepat sasaran dalam arti sesuai dengan nama, umur dan jenis kelamin.
4) Tepat Cara. Cara pemberian obat banyak macamnya dan tidak setiap obat dapat diberikan dengan cara yang sama dengan obat lain. Cara pemberian obat berpengaruh pada khasiat obat dan juga mempengaruhi kerja obat. Ada yang harus diberikan sebelum makan ada juga yang harus setelah makan.
5) Tepat Waktu. Obat mempunyai waktu paruh yang berbeda beda. Setiap obat diberikan pada jam tertentu disesuaikan dengan efek dan fungsi obat. Beberapa obat ada diberikan tiap 8 jam sampai 12 jam.

Konsep Kepatuhan

2.2 Konsep Kepatuhan
2.2.1 Pengertian
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Ghana Syakira,2009).

2.2.2 Variabel yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Menurut Ghana Syakira (2009) beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan antara lain:
1) Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio ekonomi, pendidikan.
2) Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi.
3) Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan.
4) Variabel psikososial seperti intelegensi, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya financial dan lainnya.
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan dan Tidak Kepatauhan
Menurut Ghana Syakira (2009) faktor yang mempengaruhi kepatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian antara lain:
1) Pemahaman tentang intruksi. Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.
2) Kualitas Interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
3) Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
4) Keyakinan, sikap dan kepribadian telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.
2.2.4 Klasifikasi Kepatuhan
Menurut Ghana Syakira (2009) kepatuhan dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: patuh dan tidak patuh.
1) Patuh. Seseorang dapat dikatakan patuh apabila melaksanakan tindakan sesuai dengan ketentuan.
2) Tidak patuh. Seseorang dikatakan tidak patuh apabila melaksanakan tindakan tidak sesuai dengan ketentuan.
2.2.5 Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan
Menurut Ghana Syakira (2009) Berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan antara lain:
1) Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik Dokter/Perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
2) Dukungan sosial. Dalam hal ini yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.
3) Perilaku sehat dari penderita hipertensi sangat diperlukan. Penderita hipertensi membutuhkan perilaku sehat diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat antihipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.
4) Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya. Dengan demikian keluarga dan pasien dapat mengetahui cara mencegah kambuhnya penyakit dan akibat yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
2.2.6 Manfaat kepatuhan
Manfaat kepatuhan adalah untuk membuat apa yang dipegang tetap didapat.
Kepatuhan yang dilakukan berdasarkan afeksi adalah kepatuhan yang dilakukan atas kesadaran sendiri. Seseorang yang patuh terhadap terapi dengan menggunakan afeksi maka pasien sadar bahwa kepatuhan itu baik untuknya dan mengetahui keuntungannya (Bunyan,2009)

Konsep Hipertensi

2.1 Konsep Hipertensi
2.1.1 Pengertian
Hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Arief Mansjoer,1999).
Dikatakan tekanan darah tinggi jika pada saat duduk atau istirahat tekanan sistolik mencapai 140 mmhg atau lebih, atau tekanan diastolik mencapai 90 mmhg atau lebih, atau keduanya. Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik (Muhaimin,2008).
Penderita darah tinggi mesti sekurang–kurangnya mempunyai tiga bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat.
2.1.2 Etiologi
Menurut Askandar Tjokroprawiro (2004) Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Hipertensi Primer
Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak/belum diketahui penyebabnya. Terdapat pada kurang lebih 90% dari seluruh hipertensi.
2) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan sebagai akibat dari adanya penyakit lain. Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder antara lain penyakit ginjal, kelainan hormonal, obat-obatan penyebab lainnya yaitu koartasio aorta, preeklamsi pada kehamilan, sindroma chusing.
2.1.3 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme ACE. ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin yang diproduksi oleh ginjal akan diubah menjadi angiotensin I.
Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik atau ADH dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus pada kelenjar pituitari dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urine. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Muhaimin,2008)
2.1.4 Klasifikasi Hipertensi
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi Tekanan Darah Pada Dewasa
Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik
Normal < 130 mmHg < 85 mmHg
Normal Tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Hipertensi Stadium 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Hipertensi Stadium 2 160-179 mmHg 100-109 mmHg
Hipertensi Stadium 3 180-209 mmHg 110-119 mmHg
Hipertensi Stadium 4 >210 mmHg >120 mmHg
Sumber: JNC/DETH (Askandar Tjokrprawiro,2004)
Sejalan dengan bertambahnya usia. Pada hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah, tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis (Muhaimin,2008)
2.1.5 Gejala Klinik
Gejala hipertensi antara lain pusing, muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, dan lain-lain. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi adalah kerusakan ginjal, pendarahan pada selaput bening (retina mata), pecahnya pembuluh darah di otak, serta kelumpuhan (Muhaimin,2008).

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Slamet Suyono (1999) pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penderita hipertensi antara lain:
1) Pemeriksaan laboratorium. Pada penderita hipertensi dilakukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi: (1)Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal, (2)Pemeriksaan kalium dalam serum, (3)Pemeriksaan urinalisis, (4)Pemeriksaan lain seperti profil lemak, biakkan urin dan pemeriksaan darah perifer.
2) Pemeriksaan radiologi. Penderita hipertensi dilakukan pemeriksaan radiologi yang meliputi: (1)Pemeriksaan elektrokardigrafi, (2)Foto thorax, (3)Pemeriksaan funduskopi.
2.1.7 Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan nonfarmakologis. Menurut Askandar Tjokroprawiro (2004) penatalaksanaan nonfarmakologis pada penderita hipertensi meliputi: (1)Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan, (2)Membatasi alkohol, (3)Meningkatkan aktivitas fisik aerobik, (4)Mengurangi asupan natrium, (5)Mempertahankan asupan kalsium dan magnesium adekuat, (6)berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan
2) Penatalaksanaan farmakologis. Menurut Smeltzer (2001) penatalaksanaan farmakologis pada penderita hipertensi meliputi:
(1) Diuretik dapat menurunkan volume plasma dan curah jantung. Untuk terapi jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi resistensi perifer. Efek samping: hipotensi dan hipokalemia.
(2) Golongan penghambat simpatetik mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara menyebabkan vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang nyata dan retensi cairan daripada vasodilator lainnya. Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin, felodipin, amilodipin, verapamil dan diltiazem
(3) Betabloker efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung, juga menurunkan sekresi renin. Kontraindikasi bagi pasien gagal jantung
kongestif. Preparat yang biasa digunakan adalah propanolol,
asebutolol, atenolol, bisoprolol, labetolol.
(4) Vasodilator yang termasuk golongan ini adalah doksazosin, prazosin, hidralazin, minoksidil, diaksozid dan sodium nitroprusid. Golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos yang akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah.
2.1.8 Komplikasi
Menurut Muhaimin (2008) komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain: 1)Cerebrovascular accident (CVA), 2)Gagal ginjal, 3)Perdarahan pada retina, 4)Penyakit jantung aterosklerosis.

Konsep Bronkitis Kronis

2.2 Konsep Bronkitis Kronis
2.2.1 Pengertian Bronkitis Kronis
Menurut Faisal Yunus (2008), Bronkitis adalah suatu peradangan pada saluran bronkial atau bronki. Peradangan tersebut disebabkan oleh virus, bakteri, merokok, atau polusi udara. Bronkitis akut adalah batuk dan kadang-kadang produksi dahak tidak lebih dari tiga minggu. Sedangkan bronkitis kronis adalah batuk disertai sputum setiap hari selama setidaknya 3 bulan dalam setahun selama paling sedikit 2 tahun berturut-turut.

2.2.2 Etiologi.
Menurut Soeparman, (1998), etiologi dari bronkitis kronis adalah:
1) Merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting. Peningkatan resiko mortalitas akibat bronkitis hampir berbanding lurus dengan jumlah rokok yang dihisap setiap hari
2) Polusi udara yang terus menerus juga merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis. Zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan bronkitis adalah O2, N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
3) Defisiensi alfa-1 antitripsin adalah gangguan resesif yang terjadi pada sekitar 5% pasien emfisema dan sekitar 20% dari kolestasis neonatorum karena protein alfa-1 antitripsin ini memegang peranan penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil elastase
4) Terdapat hubungan dengan kelas sosial yang lebih rendah dan lingkungan industri banyak paparan debu, asap atau asam kuat, amonia, klorin, hidrogen sufilda, sulfur dioksida dan bromin, gas-gas kimiawi akibat kerja.
5) Riwayat infeksi saluran napas. Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada penderita bronkitis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah.
6) Virus, bakteri atau Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae dan organisme lain seperti Mycoplasma pneumoniae.

2.2.3 Patologi dan Patofisiologi
Kelainan utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus, dimana dapat menyebabkan penyempitan pada saluran bronkus, sehingga diameter bronkus ini menebal lebih dari 30-40% dari normal. Terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mononuklear di submukosa trakeo bronkial, metaplasia epitel bronkus dan silia berkurang. Yang penting juga adalah perubahan pada saluran napas kecil yaitu sekresi sel goblet, bukan saja bertambah dalam jumlahnya akan tetapi juga lebih kental sehingga menghasilkan substansi yang mukopurulen, sel radang di mukosa dan submukosa, edema, fibrosis peribronkial, penyumbatan mukus intraluminal dan penambahan otot polos.
Dua faktor utama yang menyebabkan bronkitis yaitu adanya zat-zat asing yang ada di dalam saluran napas dan infeksi mikrobiologi. Bronkitis kronik ditandai dengan hipersekresi mukus pada saluran napas besar, hipertropi kelenjar submukosa pada trakea dan bronki. Ditandai juga dengan peningkatan sekresi sel goblet di saluran napas kecil, bronki dan bronkiole, menyebabkan produksi mukus berlebihan, sehingga akan memproduksi sputum yang berlebihan.
Pada bronkitis terjadi penyempitan saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, disebabkan karena perubahan pada saluran pernapasan kecil, yang diameternya kurang dari 2 mm, menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan kadang-kadang terjadi obliterasi. Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernapasan besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus. Pada penderita bronkitis saat terjadi ekspirasi maksimal, saluran pernapasan bagian bawah paru akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Hal ini akan mengakibatkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang, sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli tidak merata. Timbul hipoksia dan sesak napas. Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. Terjadi hipertensi pulmonal yang dalam jangka lama dapat menimbulkan kor pulmonal.

2.2.4 Patofisiologi
Menurut Faisal Yunus (2008), patofisiologinya adalah:
Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-bahan iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini asap rokok merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua orang yang terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi oleh status imunologik dan kepekaan yang bersifat familial. Hipereaktivitas bronkus memang ditemukan pada sebagian penderita penyakit paru obstruksi kronis atau PPOK, dan persentasenya bervariasi. Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang berbentuk gas dan partikel. Setiap hembusan asap rokok mengandung 10 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH).
Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai ke alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena : 1) Kerusakan dinding alveolus. 2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus. Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus akan sangat berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi silia menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi.
Di samping itu terjadi penebalan dinding saluran napas sehingga dapat timbul mucous plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih bersifat reversibel. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Di samping itu terjadi pula metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel.
2.2.5 Gambaran Klinis
Menurut Soeparman (1998), gambaran klinis dari penyakit bronchitis kronis adalah:
1) Batuk berdahak: Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya pasien mengalami batuk produktif di pagi hari dan tidak berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
2) Sesak nafas: Bila timbul infeksi, sesak napas semakin lama semakin hebat. Terutama pada musim dimana udara dingin dan berkabut.
3) Sering menderita infeksi pernafasan misalnya flu.
4) Wheezing atau mengi: Saluran napas menyempit dan selama bertahun-tahun terjadi sesak progresif lambat disertai mengi yang semakin hebat pada episode infeksi akut
5) Pembengkakan pergelangan kaki dan tungkai kiri dan kanan.
6) Wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan.
Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu hidung meler, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri tenggorokan. Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi selama 3 sammpai 5 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu.
2.2.6 Penatalaksanaan
Menurut Faisal Yunus (2008), penatalaksanaan bronchitis kronis adalah:
2.2.6.1 Penyuluhan.
Harus dijelaskan tentang hal-hal mana saja yang dapat memperberat penyakit dan harus dihindari serta bagaimana cara pengobatan yang baik.

2.2.6.2 Pencegahan.
Mencegah kebiasaan merokok atau dihentikan, menghindari lingkungan polusi, dan dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi.
2.2.6.3 Terapi eksaserbasi akut.
1) Antibiotik, karena biasanya disertai infeksi.
Menurut Suzanne Smeltzer, (2002), pemberian obat antibiotik merupakan pilihan pertama menghindari terjadinya komplikasi berlanjut, diantara jenisnya:
(1) Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. influenzae dan S. pneumoniae, maka digunakan Ampisilin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
(2) Agmentin atau Amoksisilin dan Asam Klavulanat dapat diberikan jika kuman infeksinya adalah H. influenzae dan B. catarhalis yang memproduksi b-laktamase. Pemberian antibiotik seperti Kortrimoksasol, Amoksisilin, atau Doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat pertumbuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi.
Pemberian Moxifloxacin 400 mg sekali sehari aman dan dapat ditoleransi dengan baik, sangat efektif untuk pengobatan infeksi saluran napas oleh bakteri, terutama bronkitis, pneumonia komunitas dan sinusitis dengan perbaikan gejala yang cepat.
2) Terapi oksigen.
Diberikan jika terjadi kegagalan jalan napas karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap karbon dioksida atau CO2. Pemberian oksigen jangka panjang lebih dari 15 jam per hari meningkatkan angka bertahan hidup pada pasien dengan gagal napas kronis (Soeparman, 1998).
3) Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum.
4) Bronkodilator.
Untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya adrenergik b dan antikoligernik, dan gejala agonis B, pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratropium bromida 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
5) Terapi jangka panjang.
(1) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, Ampisilin 4 x 0,25-0,5 per hari dapat menurunkan eksaserbasi akut.
(2) Bronkodilator: Tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
(3) Fisioterapi dan latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
(4) Mukolitik dan ekspektoran dan Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan PaO2 kurang dari 7,3 kPa (55mmHg).
(5) Rehabilitasi: Postural drainage, perkusi dan vibrasi dada digunakan untuk mengeluarkan mukus. Untuk memperbaiki efisiensi ventilasi, penderita dapat berlatih napas tipe abdominal dan purse lips. Untuk merehabilitasi fisiknya, kepercayaan terhadap dirinya dan meningkatkan toleransi latihan, dapat dilakukan latihan fisis yang teratur secara bertingkat dan dilatih untuk melakukan pekerjaan secara efisien dengan energi sedikit mungkin.

2.2.7 Diagnosa
Menurut Barbarra Engram (1998), diagnosis ditegakkan berdasarkan :
2.2.7.1 Anamnesis: riwayat penyakit yang ditandai tiga gejala klinis utama yaitu batuk, sputum, sesak dan faktor-faktor penyebabnya.
2.2.7.2 Pemeriksaan fisik: 1). Bila ada keluhan sesak, akan terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi disertai bising mengi. 2). Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shape chest (diameter anteroposterior dada meningkat). 3). Iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah. 4). Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak jantung berkurang. 5). Pada pembesaran jantung kanan, akan terlihat pulsasi di dada kiri bawah di pinggir sternum. 6). Pada kor pulmonal terdapat tanda-tanda payah jantung kanan dengan peninggian tekanan vena, hepatomegali, refluks hepato jugular dan edema kaki.


2.2.7.3 Pemeriksaan penunjang.
1) Pemeriksaan radiologi: hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
2) Pemeriksaan fungsi paru: terdapat volume ekspirasi paksa 1 detik atau VEP1 dan kapasitas vital atau KV yang menurun, volume residu atau VR yang bertambah dan kapasitas total paru atau KTP yang normal. Sedang kapasitas residu fungsional atau KRF sedikit naik atau normal. Diagnosis ini dapat ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan volume ekspirasi paksa atau VEP dalam 1 detik kurang dari 80% dari nilai yang diperkirakan, dan rasio VEP1 : KVP kurang dari 70%
3) Pemeriksaan gas darah: penderita bronkitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan baik sehingga PaCO2 naik dan PO2 turun, saturasi hemoglobin menurun dan timbul sianosis, terjadi juga vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoeisis.
4) Pemeriksaan EKG: pemeriksaan ini mencatat ada tidaknya serta perkembangan kor pulmonal atau hipertrofi atrium dan ventrikel kanan.
5) Pemeriksaan laboratorium darah : hitung sel darah putih.

2.2.8 Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinisnya. Pada eksaserbasi akut, prognosis baik dengan terapi. Pada pasien bronkitis kronik dan emfisema lanjut dan VEP1 < 1 liter survival rate selama 5-10 tahun mencapai 40%.

Konsep Pola Makan

2.2 Konsep Pola Makan
2.2.1 Pengertian
Pola makan adalah gambaran mengenai macam, jumlah, dan komposisi bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang yang merupakan ciri khas dari suatu kelompok masyarakat tertentu(Hartono, 2000)
Pola makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit (Depkes RI, 2009).

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi pola makan
Perawat perlu mengkaji beberapa faktor yang mempengaruhi pola makan pasien, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola makan pasien antara lain faktor budaya, agama/kepercayaan, status ekonomi, personal preference, rasa lapar, nafsu makan, rasa kenyang, dan kesehatan (Depkes RI, 2009).
2.2.3 Syarat Pola Makan Pasien Gastritis
Menurut Almatsier (2002) syarat diet untuk pasien gastritis akut adalah sebagai berikut: 1) Mudah dicerna, porsi makanan kecil dan diberikan sering, 2) Protein cukup untuk mengganti jaringan yang rusak, 3) Tidak merangsang, 4) Makan secara berangsur angsur harus dapat memenuhi gizi normal.
2.2.4 Makanan Biasa
Diet adalah pengaturan jumlah dan jenis makanan yang dimakan agar tetap sehat (Depkes RI, 2009) makanan biasa diberikan pada penderita yang tidak memerlukan makanan khusus berhubungan dengan penyakitnya, susunan makanan sama dengan orang sehat. Hanya tidak diperbolehkan makan makanan yang merangsang yang dapat menimbulkan gangguan pencernaan, makanan ini cukup protein dan zat gizi lainya.
2.2.5 Perawatan Gastritis pada Pola Makan
Dalam masalah ini tugas perawat yang paling penting adalah memberikan health education terhadap pasien gastritis untuk menghindari makanan yang dapat merangsang atau mengiritasi lambung seperti makanan pedas, makanan berbumbu seperti cuka dan makanan yang mengandung tajam, makanan asam, serta pola makan yang tepat baik dari segi Jenis, Jumlah, dan Jadwal makan disamping itu pula kebersihan makanan harus diperhatikan agar tidak terkontaminasi oleh Helicobacter Pylory penyebab penyakit.
Pemberian health education kepada penderita untuk mengenali secara dini gejala gastritis dan secepatnya berobat ke Puskesmas terdekat bila gejala gastritis itu kambuh adalah salah satu cara yang paling baik untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih parah dari penyakit tersebut.
Adapun jenis makanan yang dapat menyebabkan terjadinya kekambuhan gastritis adalah jenis makanan yang berbumbu dan asam seperti cuka, makanan pedas yang dapat menyebabkan terjadinya pengeluaran asam lambung secara berlebihan atau mengiritasi lambung dan makanan yang kurang terjaga kebersihanya sehingga terkontaminasi oleh kuman penyebab penyakit.
Tabel 2.1 Data Makanan Yang Boleh Dan Tidak Boleh Dikonsumsi Pasien Gastritis Akut .
Golongan bahan makanan Makanan yang
boleh diberikan Makanan yang tidak
boleh diberikan
Sumber hidrat arang Beras dibubur, biskuit, tepung-tepungan. Beras ketan, jagung, singkong, cake, dodol, kue yang terlalu manis.
Sumber protein hewani Daging sapi empuk, hati, ikan, ayam digiling, telur ayam direbus. Ayam yang diawet, digoreng, daging babi.
Sumber protein nabati Tahu, tempe direbus, kacang hijau direbus dan dihaluskan, margarin dan mentega. Tahu, tempe, digoreng; kacang tanah.
Sayuran Bayam, wortel, tomat direbus dan ditumis. Macam-macam minyak, santan, sayuran mentah.
Buah-buahan Pepaya, pisang. Jambu biji, nenas, kedondong.
Minuman Sirop, teh Soda dan alkohol, kopi.
Sumber: Almatsier (2002)

Jumlah makanan yang harus dikonsumsi oleh pasien gastritis adalah dalam jumlah yang sedikit tapi sering.
Tabel 2.2 Persamaan antara Ukuran Rumah Tangga dengan Rata-rata berat
No Ukuran Rumah Tangga Rata-rata Berat
1
2
3
4
5

6
7
8
9
10
11
12
13 1 sdm gula pasir
1 sdm tepung susu
1 sdm tepung susu
1 sdm terigu, maizena, hunkwe
1 sdm margarin, mentega, minyak goreng
1 sdm kacang-kacangan kering
1 gls nasi
1 ptg pepaya sedang
1 bh pisang sedang
1 ptg tempe sedang
1 ptg daging sedang
1 ptg ikan sedang
1 bj tahu besar 10 gram
5 gram
6 gram
5 gram

10 gram
140 gram
70 gram
100 gram
75 gram
25 gram
50 gram
50 gram
100 gram
Sumber : Almatsier, 2002

Keterangan :
bh = buah
bj = biji
sdm = sendok makan

1 sdm = 3 sdt = 10 ml
1 gls = 24 sdm = 240 ml
1 ck = 1 gls = 240 ml

Jadwal makanan sama dengan manusia pada umumnya, yaitu pagi, siang, sore. Disini hanya ditekankan untuk mengkonsumsi makanan yang tidak menyebabkan pengeluaran asam lambung secara berlebih.

Tabel 2.3 Contoh Pembagian Makanan Sehari
No Jadwal Jenis Makanan Jumlah makanan yang dikonsumsi
1 2 3 4
1. Pagi - Makanan Pokok
Beras
Telur
Sayuran
Gula pasir
Minyak
50 g
50 g
50 g
10 g
5 g
- Selingan (Snack)
Maezena
Susu
Gula pasir
15 g = 3 sdm
200 g = 1 gls
20 g = 2 sdm
2. Siang - Makanan Pokok
Beras
Daging
Tempe
Sayuran
Pepaya
Minyak
75 g
50 g
50 g
75 g
100 g
10 g
- Selingan (Snack)
Biskuit
Susu
Gula pasir
20 g = 2 biji
200 g = 1 gls
10 g = 1 sdm
3. Sore - Makanan Pokok
Beras
Daging
Tempe
Sayuran
Pepaya
Minyak
75 g
50 g
50 g
75 g
100 g
10 g
Sumber : Almatsier,( 2002)

Konsep Gastritis

2.1 Konsep Gastritis
2.1.1 Pengertian
Gastritis adalah sakit yang ditimbulkan oleh kelebihan asam yang diproduksi oleh lambung yang menyebabkan iritasi di selaput lendir lambung. dalam kondisi normal asam diperlukan untuk membantu pencernaan dalam mengolah makanan yang kita makan. Namun produksi asam lambung dapat lebih besar dari yang dibutuhkan bila pola hidup kita tidak teratur dan tidak sehat. (Balai Pustaka, 2009)
Gastritis adalah suatu bentuk inflamasi pada lambung dan bukanlah merupakan penyakit tunggal tetapi terbentuk dari beberapa kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan terjadinya peradangan pada lambung (Indofarma, 2009)
Dari kedua pengertian diatas maka gastritis adalah suatu bentuk peradangan pada lapisan mukosa dan submukosa lambung yang dapat bersifat akut maupun kronik dan terbentuk dari beberapa kondisi yang berbeda dan menyebabkan penyakit gastritis.

2.1.2 Gastritis Akut
1) Pengertian
Gastritis akut merupakan respon mukosa lambung terhadap berbagai iritan local (Brunner and Suddarth, 2001). Gastritis akut merupakan lesi mukosa akut berupa erosi dan perdarahan akibat faktor agresif atau akibat gangguan sirkulasi akut mukosa lambung (Arif , 2000).
2) Etiologi
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan dan merupakan respon mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal, penyebab gastritis akut antara lain:
(1) Pola Makan
Gastritis akut sering diakibatkan pola makan yang salah, individu makan makanan tanpa memperhatikan jenis, jumlah dan jadwal makanan yang dikonsumsi, untuk penderita gastritis sebaiknya menghindari makanan pedas, asam dan berbumbu tajam. Makan tepat waktu: Pagi, Siang dan sore hari dan makan dalam jumlah sedikit tapi sering.
(2) Alkohol
Hal ini dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal.
(3) Pemakaian obat
Pemakaian obat penghilang nyeri golongan anti inflamasi non steroid seperti: Aspirin, Ibuprofen, secara terus menerus juga dapat menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung.
(4) Terapi Radiasi dan Kemotherapy
Perawatan terhadap kanker seperti Kemotherapy dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan pada dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis dan peptic ulcer, ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi kerusakan yang terjadi biasanya sementara tapi dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut dapat menjadi permanen dan mengikis dinding lambung serta merusak kelenjar penghasil asam lambung.
(5) Stres
Stres fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi berat juga dapat menyebabkan gastritis dan juga borok serta pendarahan pada lambung sebaliknya dengan koping individu yang kuat untuk mengatasi stress yang dihadapi maka individu akan terhindar dari penyakit gastritis atau kekambuhanya.
3) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari gastritis akut dapat bervariasi dari keluhan abdomen yang tidak jelas, seperti anoreksia atau mual, sampai gejala yang lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, pendarahan, dan haematomesis. Pada beberapa kasus gejala memanjang dari resisten terhadap pengobatan, mungkin diperlukan tindakan diagnostik tambahan seperti endoskopi, biopsi mukosa dan analisis cairan lambung untuk memperjelas diagnosis.
4) Komplikasi
Jika dibiarkan tidak terawat gastritis akan dapat menyebabkan peptic ulcer dan perdarahan pada lambung.
5) Penatalaksanaan
Gastritis akut dapat diatasi dengan mengintruksikan pasien untuk menghindari etiologi yang dapat menyebabkan gastritis akut kambuh yaitu dengan memberikan makanan yang mudah dicerna oleh lambung, tidak merangsang sekresi asam lambung secara berlebih, diberikan dalam porsi makanan sedikit tapi sering dan sesuai dengan jadwal makan yaitu 3 kali sehari, disamping itu juga meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit gastritis serta cara pencegahan terhadap kekambuhanya, menghindari alkohol, melakukan olahraga secara teratur, menghindari stress, dan mengganti obat penghilang nyeri golongan anti inflamasi non steroid dengan obat yang mengandung Acetaminophen.

Konsep Perilaku

2.2.1 Pengertian Perilaku
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati langsung. (Soekidjo Notoatmodjo, 2007)
Menurut Skiner dalam Soekodjo Notoatmodjo (2007) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseoarang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme - Respon. Skiner membedakan adanya dua respon, antara lain:
1. Respondent respons atau reflexsiv
Respondent respons atau reflexsiv yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan atau stimulus tertentu. Stimulus semacam ini disebut eleciting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional
2. Operant Respons atau instrumental respons
Operant Respons atau instrumental respons yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respon.
2.2.2 Macam-macam Perilaku
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua :

1. Perilaku tertutup atau covert behavior
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup atau covert. Repon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas dalam perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka atau overt behaviour
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan praktek atau practice, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.2.3 Perilaku kesehatan
Batasan Skiner dalam Soekidjo Notoatmodjo (2007), maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang atau organisme terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan atau health maintanace
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
1) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
2) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Bahwa kesehatan sangat dinamis dan relatif, maka orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
3) Perilaku gizi. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan atau health seeking behavior.
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri atau selftreatment sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah dan sebagainya.
Menurut Becker dalam Soekidjo Notoatmojo (2007), mengklasifikasikan perilaku kesehatan.
1) Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
Perilaku ini mencakup antara lain:
(1) Makan dengan menu seimbang atau appropriate diet. Menu seimbang dalam arti kualitas yang mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh, dan kuantitas dalam arti jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau tidak kurang, tapi juga tidak lebih, dikenal dengan ungkapan empat sehat lima sempurna.
(2) Olahraga teratur, yang juga mencakup kualitas atau gerakan dan kuantitas dalam arti frekwensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga. Dengan sendirinya kedua aspek ini akan tergantung dari usia dan status kesehatan yang bersangkutan.
(3) Tidak merokok. Merokok adalah kebiasaan jelek yang mengakibatkan berbagai macam penyakit. Hampir 50% penduduk Indonesia usia dewasa dan sekitar 15% remaja kita telah merokok.
(4) Tidak minum minuman keras dan narkoba. Kebiasaan minum miras dan mengkonsumsi narkoba atau narkotik dan bahan-bahan berbahaya lainnya, cenderung meningkat. Sekitar 1% penduduk Indonesia dewasa diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minum miras.
(5) Istirahat cukup. Dengan meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan untuk penyesuaian dengan lingkungan modern, mengharuskan orang untuk bekerja keras dan berlebihan, sehingga kurang waktu istirahat. Hal ini juga dapat membahayakan kesehatan.
(6) Mengendalikan stres. Stres akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya bermacam-macam bagi kesehatan. Kecenderungan stress akan meningkat pada setiap orang. Stres tidak dapat kita hindari, yang penting agar stress tidak menyebabkan gangguan kesehatan, kita harus dapat mengendalikan atau mengelola stress dengan kegiatan-kegiatan yang positif.
(7) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya: penyesuian diri kita dengan lingkungan dan sebagainya.
2) Perilaku sakit atau illness behavior
Perilaku sakit ini mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit dan sebagainya.
3) Perilaku peran sakit atau the sick role behavior
Dari segi sosiologi, orang sakit atau pasien mempunyai peran yang mencakup hak-hak orang sakit atau right dan kewajiban sebagai orang sakit atau obligation. Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain, terutama keluarganya, yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit atau the sick role. Perilaku ini meliputi: 1) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan. 2) Mengenal atau mengetahui fasilitas pelayanan atau penyembuhan penyakit layak. 3) Mengetahui hak, misalnya: hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan dan sebagainya dan kewajiban orang sakit, memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada dokter atau petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain dan sebagainya.
2.2.4 Domain Perilaku
Menurut Benyamin Bloom dalam Soekidjo Notoatmodjo (2007), membagi perilaku manusia kedalam 3 domain, yakni:
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang atau overt behavior.
1) Proses Adopsi Perilaku
Menurut Roger, sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam orang terebut terjadi peristiwa: (1) Awareness atau kesadaran, yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahiu stimulus atau objek terlebih dahulu. (2) Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus. (3) Evaluation atau menimbang - nimbang baik dan tindaknya stimulus tersebut bagi dirinya. (4) Trial, orang telah memulai mencoba perilaku baru. (5) Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
2) Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu: (1) Tahu atau Know diartikan sebagai mengingat suatu yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan menyatakan, dan sebagainya. (2) Memahami atau comprehension diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau meteri harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan. (3) Aplikasi atau aplication diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. (4) Analisis atau analysis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen. (5) Sintesis atau synthesis menujukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian - bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. (6) Evaluasi atau Evaluation berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.
1) Komponen Pokok Sikap menurut Allport dalam Soekidjo Notoatmojo (2007), menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok, yaitu: kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak.
2) Berbagai Tingkatan Sikap antara lain: menerima atau receiving diartikan bahwa subjek memperhatikan stimulus yang diberikan objek. Merespon atau responding memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Menghargai atau valuing mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. Bertanggung jawab atau responsible atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko.
3. Tindakan atau Practice
mewujudkan sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Praktik atau tindakan mempunyai beberapa tingkatan antara lain: persepsi atau perception mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. Respons terpimpin atau guided response: dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh. Mekanisme atau mechanism: apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sudah merupakan kebiasaan. Adopsi atau adoption adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
2.2.5 Aspek Sosio - Psikologi Perilaku Kesehatan
Di dalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam individu itu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi dan belajar. Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia, karena perilaku merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsang yang dihasilkan. Perpindahan ini dihasilkan oleh susunan saraf pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron. Neuron memindahkan energi-energi yang di dalam impuls-impuls saraf indera pendengaran, penglihatan, pembauan, perasa dan perubahan disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan melalui impuls saraf ke susunan saraf pusat.
Perubahan perilaku seseorang dapat diketahui melalui: persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalaui penginderaan dan setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda. Motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku juga timbul karena emosi. Aspek psikologi yang mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani. Sedangkan keadaan jasmani merupakan hasil keturunan. Oleh karena itu, perilaku yang timbul karena emosi merupakan perilaku bawaan. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan perilaku yang dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan.
Perilaku terbentuk dari suatu proses tertentu dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Pembentukan perilaku dipengaruhi oleh faktor intern berupa kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor ekstern meliputi: objek, orang, kelompok, dan hasil-hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya.
Dalam bidang kesehatan masyarakat khususnya pendidikan kesehatan, mempelajari perilaku adalah sangat penting. Karena pendidikan kesehatan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat, berfungsi sebagai media atau sarana untuk menyediakan kondisi sosio-psikologis sedemikian rupa sehingga individu atau masyarakat berperilaku sesuai dengan norma - norma hidup sehat.